Fungsi Konstitusi dalam Pembangunan Struktur Hukum dilihat dari segi Politik Hukum

Minggu, 13 Juni 2010      0 komentar


BAB I
PENDAHULUAN

            Sejarah Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia dalam perjalanannya, menunjukkan fungsi DPR dalam periode-periode pemerintahan-pemerintahan sebelumnya masih terfokus hanya pada fungsi-fungsi pengawasan dan anggaran, sementara fungsi legislasi selama periode tersebut lebih didominasi oleh pemerintah (presiden). DPR hanya sebatas membahas usul undang-undang yang diajukan oleh presiden. Hampir tidak ada undang-undang yang merupakan usul inisiatif dari DPR. Dalam struktur kenegaraan, hal ini sangat tidak layak jika suatu institusi pelaksana undang-undang terlalu mendominasi pembuatan undang-undang yang merupakan acuan dan dasar pemerintah melakukan tugas dan wewenang kenegaraannya tersebut.


Keseluruhan sistem hukum nasional harus bekerja berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, cita hukum dan penuntut yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, artinya tidak boleh ada produk hukum yang bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas. Hukum sebagai suatu sistem hukum mencakup dimensi yang luas oleh Friedmann disarikan ke dalam tiga unsur besar yaitu substansi atau isi hukum (sunstance), struktur hukum (structure) dan budaya hukum (culture).1 Untuk mengerjakan pembangunan sistem hukum GBHN kita pada era orde baru mengembangkan sistem hukum ke dalam empat unsur yakni materi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan budaya hukum, sedangkan Sunaryati Hartono, mengurai lagi menjadi 12 unsur atau subsistem. Tidak ada yang salah dari perbedaan jumlah unsur itu, sebab unsur sistem hukum itu memang sangat banyak subsistemnya sehingga setiap sistem dapat diurai lagi ke dalam subsistem-subsistem yang lebih rinci.
Sebenarnya kalau kita ingin membicarakan pembangunan sistem hukum melalui politik hukum cakupannya dapat menjangkau semua subsistem dan sistem hukum yang luas itu. Tetapi pada umumnya pembicaraan tentang politik hukum lebih banyak terfokus pada materi hukum atau pada arah tentang substansi dan isi hukum apa saja yang digariskan untuk dibuat, sehingga kalau berbicara politik hukum kita sering menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang akan dibuat. Ini pun tidak salah karena memang materi hukumlah yang sangat panting di dalam sistem hukum dan politik hukum.
Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program legislasi nasional (Prolegnas), artinya kalau kita ingin mengetahui pemetaan atau potret rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu sebagai politik hukum maka kita dapat melihatnya dari prolegnas tersebut. Prolegnas ini disusun oleh DPR bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikordinasikan oleh DPR. Bahwa DPR yang mengkoordinasikan penyusunan prolegnas ini merupakan konsekuensi logis dari hasil amandemen pertama UUD 1945 yang mengeser penjuru atau titik berat pembentukan Undang-Undang dari pemeirntah ke DPR. Seperti diketahui bahwa Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen pertama berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Bahwa prolegnas merupakan wadah politik hukum (untuk jangka waktu tertentu) dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam Pasal 15 ayat (1) mengariskan bahwa, “perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam satu program legislasi nasional”. Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan Pasal 15 ayat (2), digariskan juga untuk membuat program legislasi daerah (Prolegda) agar tercipta konsistensi antar berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke daerah. Kemudian dari prolegnas inilah kita dapat melihat setiap jenis undang-undang yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu sebagai politik hukum.
Namun harus diingat bahwa menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 prolegnas bukan hanya terkait dengan materi atau rencana pembentukan peraturan perundang-undangan melainkan lebih dari itu, prolegnas juga merupakan instrumen yang mencakup mekanisme perencanaan hukum agar selalu konsisten dengan tujuan, penuntut dan cita hukum yang mendasarinya kedudukan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan hukum itu tertuang di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang berbunyi, “Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis”.
Dengan demikian Prolegnas dapat dilihat baik sebagai isi atau materi hukum yang akan dibuat maupun sebagia instrumen mekanisme perencanaan hukum. Sebagai isi hukum Prolegnas memuat daftar rencana materi-materi hukum atau RUU yang akan dibentuk dalam periode tertentu guna meraih tahap tertentu pencapaian cita-cita bangsa dan tujuan negara, sedangkan sebagai instrumen perencanaan hukum Prolegnas menentukan cara dan prosedur yang harus ditempuh agar pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) itu tidak keluar dari landasan dan arah konstitusionalnya. Dengan demikian Prolegnas merupakan potret politik hukum nasional yang memuat tentang rencana materi dan sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuat hukum. Sebagai materi hukum Prolegnas dapat dipandang sebagai potret rencana isi atau substansi hukum, sedangkan instrumen Prolegnas dapat dipandang sebagai pengawal agar pembuatan hukum itu benar.
Berdasankan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah: “Fungsi Konstitusi dalam Pembangunan Struktur Hukum dilihat dari segi Politik Hukum”.


BAB II
PEMBAHASAN
Sesudah tumbangnya rezim orde baru yang disusul hadirnya sebuah pemerintahan baru melalui sebuah pemilihan yang demokratis, tuntutan pembaruan manajemen produksi hukumpun merupakan conditio sine quanon. Seiring dengan reformasi hukum yang diawali dengan amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengamanatkan perubahan kelembagaan ketatanegaraan sesuai dengan fungsi dan tugas-tugas lembaga negara, Presiden beserta peserta kabinetnya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif merupakan pihak yang mengemban amanat untuk melaksanakan pemerintahan, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah lembaga yang merupakan representasi dari perwakilan rakyat pengemban tugas legislasi dan pengawasan serta Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif mengemban tugas melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi juga tugas-tugas lembaga negara lain, juga dilakukan dalam rangka mengemban proses check and balance yang seimbang.
Perubahan produksi hukum dalam proses legislasi nasional merupakan langkah strategis untuk mewujudkan amanah reformasi, yakni tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat, serta nilai yuridis, yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Untuk mewujudkan produk hukum yang sesuai dengan filosofis, sosial dan yuridis tersebut, maka proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, telah ditentukan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan didasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai berikut:
1.    Kejelasan tujuan;
2.   Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3.   Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4.   Dapat dilaksanakan;
5.   Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6.   Kejelasan rumusan;
7.   Keterbukaan.
Asas-asas tersebut, jika dikaitkan dengan sebelas asas pembentukan perundang-undangan menurut Van der Villes maka asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah merupakan perasaan dari kesebelas asas menurut Van der Villes dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan sepanjang telah mengacu dan sesuai dengan asas-asas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka produknya sudah dipastikan merupakan produk hukum yang baik sesuai dengan kriteria yang diharapkan/dikehendaki.
Untuk memperluas dan melengkapi pemahaman mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka berikut ini diuraikan kesebelas asas menurut Van der Villes:
1.    Asas tujuan atau sasaran yang jelas
            Setiap undang-undang harus mencerminkan secara jelas tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah kebijakan-kebijakan umum dan khusus yang ada dalam bidang yang diatur, baik sekarang maupun untuk masa yang akan mendatang. Termasuk di dalam pengertian ini adalah akibat (seperti beban masyarakat atau negara) yang akan ditimbulkan oleh undang-undang itu.
2.   Asas organ yang tepat
            Undang-undang harus dibuat oleh organ yang tepat, dalam arti memang berwenang untuk itu. Di sini terkait masalah hubungan kesesuaian antara materi muatan undang-undang dan bentuk formal undang-undang.
3.   Asas Keperluan
            Undang-undang harus berdasarkan keperluan. Undang-undang bukan satu-satunya instrumen dalam melaksanakan suatu kebijakan atau memecahkan masalah, sehingga masih terbuka kemungkinan digunakan instrumen lain yang lebih efisien dan efektif. Suatu undang-undang diperlukan, misalnya jika dengan instrumen lain dipertimbangkan akan menimbulkan beban lebih besar atau membatasi hak-hak warga yang bersifat mendasar.
4.   Asas dapat dilaksanakan
            Undang-undang dibuat dengan memperhitungkan kemungkinan pelaksanaannya. Suatu undang-undang menjadi tidak mungkin dilaksanakan jika menimbulkan reaksi keras (penolakan) dari sebagian besar masyarakat atau menciptakan beban terlalu berat bagi pemerintah.
5.   Asas konsensus
            Undang-undang adalah produk kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat dari konteks ini, diartikan bahwa undang-undang itu harus responsif, yakni mengakomodasikan seluas mungkin masukan-masukan dari semua komponen masyarakat.
6.   Asas keutuhan
            Undang-undang harus mencerminkan satu kebulatan utuh yang berisi segala aspek yang diperlukan pada saat pelaksanaannya. Pendekatan sistematis dalam pembentukan undang-undang menjadi titik berat asas ini. Dengan demikian tidak akan menjadi kontradiksi antara ketentuan-ketentuan dalam undang-undang itu, atau kontradiksi dengan undang-undang lain yang lebih tinggi atau yang sejajar.
7.   Asas kejelasan terminologi dan sistematika
            Kejelasan suatu undang-undang dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membuat penjelasan, pemilihan dengan kata yang tepat dan mempertahankan konsistensi peristilahan.
8.   Asas dapat dikenali
            Setiap undang-undang pada dasarnya harus dapat diketahui secara wajar oleh yang berkepentingan. Asas ini dilaksanakan dengan cara-cara seperti pengundangan atau publikasi lainnya.
9.   Asas persamaan di depan hukum
            Undang-undang tidak boleh memuat ketentuan yang memungkinkan perbedaan perlakuan secara sewenang-wenang. Perbedaan perlakuan hanya dibenarkan kalau dilakukan demi kepentingan orang atau kelompok yang dibedakan (positive discrimination).
10. Asas kepastian hukum
            Undang-undang harus menjamin kepastian hukum. kepastian ini dapat diperoleh dengan beberapa cara, misalnya (1) peraturan itu harus dirumuskan dengan jelas dan tepat, (2) perubahannya harus mempertimbangkan dengan baik kepentingan orang yang terkena pengaturan peralihan yang cukup dan memadai.
11.  Asas memperhatikan keadaan individu dalam pelaksanaan hukum
            Pada saat pembuatannya harus diperhitungkan keadaan-keadaan khusus yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi khusus tersebut, dalam undang-undang itu dapat ditentukan: (1) pemberian kewenangan kepada aparat administrasi negara untuk membuat keputusan dalam menghadapi keadaan-keadaan khusus tadi. (2) pemberian kemungkinan kepada aparat administrasi negara menyimpang ketentuan yang ada di dalam menghadapi keadaan-keadaan khusus, dan (3) perlindungan hukum terhadap tindakan aparat administrasi negara yang akan mempunyai akibat langsung terhadap kedudukan hukum dari pihak-pihak yang berkepentingan.
            Kemudian perlu juga diketahui fungsi dari konstitusi itu sendiri agar kita tahu apa peranan konstitusi dalam pembangunan struktur hukum dilihat dari segi politik hukum. Berikut adalah fungsi konstitusi:
1.        Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
2.        Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;
3.        Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;
Fungsi konstitusi dalam suatu negara: 1. menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme; 2. memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah; 3. sebagai instrumnen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;
Menurut Jimly Assiddiqie mnyebutkan bahwa Konstitusi memiliki fungsi yang diperinci sebagai berikut:
1)             Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara;
2)             Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara;
3)             Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warga negara;
4)             Fungsi pemberi atau sumber ligitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara;
5)             Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli kepada organ negara;
6)             Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation), serta sebagai centre of ceremony;
7)             Fungsi sebagai pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya dibidang politik, maupun dalam arti luas menyangkut bidang sosial dan ekonomi;
8)             Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaharuan masyarakat (social engineering atau social reform).
           
            Dalam pelaksanaannya sudah barang tentu kita juga harus mengetahui apa itu politik hukum, berikut penjabarannya secara singkat:
            Salah satu pengertian politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Pengertian itu mengungkapkan adanya pokok-pokok penting dalam politik hukum, dimana memberikan suatu arti yang esensial dalam pembentukan hukum. Pokok-pokok itu diantaranya: tujuan apa yang hendak dicapai, metode yang tepat yang akan digunakan, waktu dilaksanakan, dan perumusan hukum yang bagaimana supaya tujuan negara tercapai.
Pengertian-pengertian politik hukum, menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Artinya hukum yang diberlakukan dipergunakan sebagai alat oleh negara untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, politik hukum juga dijadikan alat untuk membentuk hukum; baik dalam rangka menciptakan hukum yang baru, maupun mengganti dan/atau merubah hukum yang lama. Hukum yang dibentuk tersebut kemudian secara politis diakui dan diberlakukan kepada masyarakat. Dengan demikian, politik hukum yang oleh Sudarto diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, menjadikan politik hukum sebuah langkah bagi pemerintah untuk membentuk sistem hukum demi mencapai tujuan negara.
            Politik hukum di Indonesia sendiri memiliki dua sifat, yakni : (a) sifat permanen atau jangka panjang, dimana sifat ini merupakan prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD, yang selanjutnya berlaku sebagai politik hukum; (b) sifat periodik, dimana politik hukum dibuat pada situasi dan kondisi pada periode tertentu, yang dimaksudkan untuk memberlakukan atau mencabut hukum tertentu. Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilihat dan diteliti. Politik hukum lebih bersikap formal pada kebijakan resmi, sedangkan studi politik hukum mencakup kebijakan resmi dan kaitannya dengan hal-hal yang lainnya. Sebagai sebuah studi terhadap perkembangan politik hukum, maka studi politik hukum memiliki cakupan tertentu, yakni :
a)      Kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan dan hukum yang tidak diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara;
b)      Latar belakang lahirnya sebuah produk hukum;
c)      Penegakan hukum pada kenyataannya di lapangan.
2.      Politik Hukum sebuah Urgensitas
      Politik dan hukum dalam konteks ilmu sosial dan humaniora adalah variabel-variabel yang memiliki keterkaitan erat dalam sebuah hubungan kausalitas yang masing-masing memberikan pengaruh. Secara konseptual, keduanya memiliki kekuatan untuk saling mempengaruhi. Dengan demikian bilamana politik dan hukum dipisahkan dan berdiri sendiri, maka keduanya tidak memiliki arti bagi pemakainya. Dalam melihat hubungan di antara keduanya, maka akan muncul banyak asumsi yang digunakan demi medapatkan visi tertentu. Asumsi-asumsi yang muncul adalah asumsi-asumsi yang menempatkan politik dan hukum sebagai variabel yang saling bertumbukan.
      Munculnya asumsi-asumsi dilatarbelakangi oleh pengenaan das sollen dan das sein dalam melihat politik dan hukum. Apabila menggunakan pemikiran yang berlandaskan pada analisis das sollen maka hukum akan menjadi dominan atas politik. Sementara itu, jika berlandaskan pada das sein maka yang terjadi adalah hukum didominasi oleh politik. Karena hukum dan politik adalah variabel, maka dengan landasan yang demikian, maka kedudukan sebagai independent variable dan dependent variable akan sangat ditentukan olehnya. Pada kerangka yang lain, das sollen-das sein menjadi perspektif-perspektif untuk memandang politik dan hukum, yang terbagi atas beberapa pendapat, diantaranya :
• Hukum determinan atas politik
Artinya bahwa sudut pandang yang dipakai adalah melihat hukum sebagai undang-undang, sehingga asumsinya adalah politik merupakan produk hukum. Alasannya adalah hukum menjadi dominan atas politik. Disinilah politik menjadi variabel yang terpengaruh (dependent variable) oleh hukum (independent variable).
Perspektif yang dipakai dalam melihat asumsi ini adalah perspektif das sollen (keharusan), dimana berpegang teguh pada hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan anggota masyarakat termasuk dalam kegiatan politik.
• Politik determinan atas hukum
            Artinya bahwa politik dilihat sebagai kekuasaan yang mempengaruhi terbentuknya hukum, sehingga diasumsikan bahwa hukum adalah sebagai produk politik. Karena dominasi kekuasaan, hukum menjadi produk politik., hukum menjadi produk politik. Disinilah hukum menjadi variabel yang terpengaruh (dependent variable) oleh politik (independent variable).
            Dalam asumsi ini yang dipakai adalah perspektif das sein dimana para penganut paham empiris memandang bahwa secara realistis, politik sangat mempengaruhi produk hukum, tidak hanya pada konteks pembuatannya saja, namun juga sampai pada kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan pembuatan undang-undang dalam kenyataannya lebih kental dengan pembuatan keputusan-keputusan politis yang kemudian dibakukan dalam bentuk undang-undang.
• Politik dan hukum determinasinya seimbang
            Dalam pendapat ini, kedudukan hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajatnya seimbang antara satu dengan yang lainnya. Artinya adalah meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, namun begitu hukum diberlakukan maka semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum tersebut.
            Di dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kebenaran yang ada adalah kebenaran relatif. Artinya bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak yang ditemukan secara ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kedua asumsi di atas, menemukan tujuannya masing-masing. Asumsi pertama politik adalah produk hukum, bukanlah kesimpulan yang salah mengingat landasan asumsi yang dipergunakan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Demikian sebaliknya, bilamana hukum merupakan produk politik, maka secara ilmiah kesimpulan itu dapat dipertanggungjawabkan pula.
Studi politik hukum merupakan sebuah studi yang masih diperdebatkan letaknya secara ilmiah. Politik hukum dianggap sebagian orang sebagai bagian dari ilmu hukum, sementara ada yang menganggap sebagai bagian dari ilmu politik. Sebagai bagian dari ilmu hukum, politik berakar dari filsafat. Politik kemudian menghasilkan berbagai produk hukum (hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, dan lain sebagainya), yang kemudian mengisi kehidupan masyarakat.
            Studi politik hukum di Indonesia, terkait erat dengan pengertian atau definisi politik hukum. Akan tetapi ada perlunya untuk memperhatikan kesamaan-kesamaan substantif antar berbagai pengertian yang ada. Umumnya politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang mana yang sifat dan arahnya hukum akan dibangun dan ditegakkan. Secara khusus, studi politik hukum di Indonesia cenderung pada pengertian politik hukum sebagai legal policy yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional di Indonesia, yang meliputi : (1) pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan (2) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
3.      Hukum sebagai Produk Politik
      Mahfud MD dalam bukunya ini, menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. Hal ini berarti bahwa politik sebagai independent variable menjadi variabel yang berpengaruh bagi terbentuknya hukum, dimana hukum diletakkan sebagai dependent variable. Hukum dalam tulisannya Mahfud tersebut adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara politis. Realitas bahwa hukum di Indonesia tergantung atas politik yang berkembang, yakni politik determinan atas hukum, dapat dilihat dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing satu dengan yang lainnya, kemudian mengkristalisasi membentuk peraturan-peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif).
Pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik dikarenakan di Indonesia peraturan perundangan merupakan hasil dari kontestasi kepentingan dan aspirasi politik dari pihak-pihak yang secara bersama-sama membentuk undang-undang. Undang-undang yang terbentuk merupakan hasil dari upaya akomodasi dari kekuatan politik dan aspirasi politik. Maka dengan demikian hukum sendiri adalah produk politik.
      Sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti undang-undang yang merupakan produk politik, tetapi juga hukum yang mencakup konstitusi atau undang-undang dasar. Dalam kerangka keluasan arti hukum tersebut, nampak bahwa konstitusi merupakan resultante yang sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat pembuatannya. Inilah kemudian yang dikenal dengan konfigurasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, yang mempengaruhi pembentukan hukum.
Konsentrasi pada ‘hukum sebagai produk politik’ mengesampingkan konfigurasi-konfigurasi yang lain, sebab asumsi yang dipakai menyatakan bahwa hukum merupakan produk dari perkembangan politik. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa dalam suatu keadaan politik yang menimbulkan pemerintahan dan hukum baru, dapat sah menjadi pemerintah dan konstitusi baru bila pemerintah tersebut secara politik bisa mempertahankan dan memberlakukannya.
      Determinasi politik terhadap hukum menyebabkan politik menjadi independent variable yang dibedakan menjadi politik yang otoriter dan politik yang demokratis. Sementara hukum yang berkedudukan sebagai dependent variable dibedakan menjadi hukum yang ortodoks dan hukum yang responsif.

4.      Konfigurasi Politik
      Dalam perkembangan politik dikenal dengan adanya konfigurasi politik. Konfigurasi politik dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni; peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan media dan pers, serta peranan eksekutif. Adapun dinamisasi indikator tersebut menyebabkan hukum menjadi salah satu produk bagi perkembangan konfigurasi politik itu sendiri. Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yakni konfigurasi politik yang otoriter dan konfigurasi politik yang demokratis. Pada kenyataannya, konfigurasi politik ini sangat tergantung pada penyelenggaraan negara, baik demokratis maupun yang otoriter. Hal ini karena beragamnya variasi pelaksanaan demokratisasi dan otoriterisme, bahwa secara teoritis yang demokrasi tidak selalu murni dilaksanakan, ataupun yang otoriter juga tidak selalu murni otoriter.
a.      Konfigurasi politik demokratis
Yakni susunan sistem politik yang membuka kesempatan/peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Demokratis dalam pengertian ini adalah demokratis dimana ada pembatasan-pembatasan kewenangan pemerintah untuk melindungi individu dan kelompok melalui tata cara pergantian pemimpin secara berkala, tertib, dan damai yang diselenggarakan dengan menggunakan efektivitas alat-alat perwakilan rakyat. Selain itu, nampak adanya toleransi terhadap sikap oposisi, tuntutan akan fleksibilitas, dan kegiatan-kegiatan eksperimental di bidang politik. Kemudian, demokrasi juga menekankan pada penghargaan terhadap kaum minoritas, dimana partisipasi mereka tidak didiskriminasi.
            Dalam konfigurasi politik demokratis, dapat ditemukan bahwa kedudukan parpol dan parlemen sangat menentukan kebijakan negara. Selain itu lembaga eksekutif (pemerintah) memiliki posisi yang tidak berpihak, sehingga pers dapat terselenggara secara bebas, sensor yang akomodatif, serta anti pembredelan.
b.      Konfigurasi politik otoriter
            Yakni susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir semua inisiatif dalam membuat kebijaksanaan negara. Dalam konteks ini, negara mendorong untuk memaksakan persatuan, penyamaan persepsi (dengan menghilangkan oposisi), dengan percaya diri menjalankan kebijaksanaan pemerintah tanpa mendengar kritikan, dan mempertahankan status quo (elite tertentu). Untuk melaksanakan itu semua, negara menyusupkan doktrin-doktri pembenaran atas tindakan negara (termasuk kehendaknya sendiri) demi tujuan-tujuan tertentu yang diasumsikan sebagai sejarah. Akibatnya, muncul perilaku-perilaku untuk menghilangkan perbedaan pendapat, kritik, dan mengusahakan suatu ide mengenai masyarakat sosial yang homogen dan seragam.
            Dalam konfigurasi ini, partai politik dan parlemen seringkali berada dalam kontrol pemerintah, sehingga menjadi susah bergerak. Intervensi-intervensi pemerintah menyebabkan pers tidak berkembang sesuai dengan asas-asas kebebasan media, dan penuh dengan ancaman-ancaman sensor.
5.      Karakter Produk Hukum
      Dalam studi politik hukum yang dituangkan oleh Mahfud, maka dapat ditarik sebuah keadaan dimana hipotesa awal yang digunakan adalah konfigurasi politik diasumsikan sebagai independent variable dan karakter produk huku sebagai dependent variable. Berdasarkan pembahasan di atas, serta dampak dari pengaruh konfigurasi politik dalam upaya pembentukan hukum, maka produk hukum yang dihasilkan terdiri dari dua karakter, yaitu :
responsif/populistik:
- Definisi: hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat
- Proses pembuatan mengikutsertakan masyarakat (sebanyak-banyaknya) yang diwakili melalui individu-individu, atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
- Aspiratif : memuat materi-materi yang umumnya sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarakat
-          Limitative : artinya bahwa peluang untuk menafsirkan suatu materi sangat dibatasi karena kedetailan isi dan tujuannya (peraturan pelaksana hanya bersifat teknis)
konservatif/ortodoks/elitis
-          Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program Negara
-          pembuatannya didominasi oleh elite-elite politik tertentu, atau lembaga negara terutama oleh pemegang kekuasaan eksekutif
-          Positivis-instrumentalis : substansinya memuat materi-materi demi mewujudkan keinginan dan kepentingan program pemerintah saja
-          Open interpretative : peluang untuk ditafsirkan sangat terbuka, karena isi hukumnya singkat, hanya pokok-pokoknya saja sehingga cenderung dijadikan alat untuk mengatur sesuai visi dan misinya sendiri

 
BAB III
KESIMPULAN
Dari permasalahan di atas, maka di sini penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan yakni,
1.      Bahwa konstitusi merupakan wujud cita hukum masyarakat suatu negara dalam mencapai tujuan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
2.      Bahwa Konstitusi merupakan pegangan penguasa sebagai pemegang kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan
3.      Bahwa dalam menerapkan konstitusi tersebut dibutuhkan sebuah struktur hukum sebagai kliasifikasi dan hierarki terhadap keberadaan produk hukum di suatu negara.
4.      Bahwa guna penegakan dan konsistensi terhadap pelaksanaan produk hukum yang merupakan perwujudan dari penerapan suatu kosntitusi perlu keberadaan/adanya politik hukum.

 
DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku-buku
  1. Appeldoorn, LJ. van, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390
  2. Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002), hlm. 9
  3. D, Moh. Mahfud M, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Kedua, (Jakarta: LP3ES, 2001). Lihat referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.
  4. Juwono, Hikmahanto, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”. Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
  5. Nasution, Mirza. NEGARA DAN KONSTITUSI. 2004 ( diakses lewat internet)
    http://www.prince-mienu.blogspot.com
  6. Situs Resmi Universitas Wisnu Wardhana Malang
  1. Blog Setyo Pamungkas
http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/01/20/politik-hukum/
B.     Artikel
  1. Radhie, Teuku Muhammad dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973, hlm. 4.
  2. Attamimi, A. Hamid S. Mekanisme Proses Perundang – Undangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Program Legislatif. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional (1977).


 

0 komentar: