Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pembuatan Produk Hukum

Senin, 08 Februari 2010      0 komentar

BAB I
PERMASALAHAN
A. Asas Diskresi
Pengertian Asas Diskresi
Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri. Banyak pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi, menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.

Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut:
“Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).” 

Mengenai definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T. Lumbuun menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan asas diskresi tersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana. Menurut Prajudi, diskresi adalah Kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri. Kemudian Laica Marzuki mengemukakan bahwa diskresi adalah Kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Lain lagi pendapat dari Thomas J. Aaron yang menyatakan Discretion is power authority conferred by law to action on the basic judgment or consience, and its use is more idea of morals then law. Sedangkan definisi diskresi menurut Sjachran Basah seperti dikutip oleh Patuan Sinaga, adalah:
”…, tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai…, melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”. 

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:
1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara;
2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan;
3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.
Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis). 

B. Permasalahan dalam Diskresi

     Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Menurut Prof. Muchsan, diskresi sangat potensiil menimbulkan perbuatan melanggar hukum yang merugikan privat seperti penguasa dapat dianggap melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang melanggar Hak Subyektif Privat dalam hal:
a. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan hukum tsb.
b. Penguasa melakukan perbuatan bersumber hk publik dan melanggar ketentuan tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembatasan Terhadap Diskresi

       Terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kewenangan yang kebablasan sebagaimana telah disebutkan dalam Bab I diatas. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Sjahran Basah sebelumnya, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.

     Jika kita berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi, maka subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Argumentum yang dikedepankan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa eksekutiflah yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada di lingkungan pemerintahan (eksekutif). Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dan lain-lain.

     Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:
1. Apabila terjadi kekosongan hukum;
2. Adanya kebebasan interprestasi;
3. Adanya delegasi perundang-undangan;
4. Demi pemenuhan kepentingan umum.
Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya Diskresi yaitu:
(a) Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya;
(b) Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;
(c) Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-undang, penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

     Dalam Rancangan Undang-Undang Diskresi juga disebutkan poin-poin apa saja yang membatasi Diskresi berikut poin-poin tersebut:
  1. hak yang dimiliki seseorang pejabat yang memiliki kewenangan delegasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan seseorang pejabat,
  2. untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum, atau bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat,
  3. karena konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku belum jelas atau belum mengatur;
Dalam RUU Administrasi Publik terutama pada Pasal 25 menyatakan bahwa:
(1) Jika seorang Pejabat Administrasi Pemerintahan harus menggunakan diskresi dalam pembuatan suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan, pejabat yang bersangkutan wajib memperhatikan tujuan pemberian diskresi, batas-batas hukum yang berlaku serta kepentingan umum.
(2) Batas-batas hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Tidak bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia,
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
c. Wajib menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik,
d. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

    Batas-batas diskresi bagi seseorang pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi dalam pem buatan suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan, wajib memperhatikan
1. tujuan dari pemberian diskresi,
2. dasar hukum yang berlaku,
3. kepentingan umum
4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam,
5. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perlu diperhatikan bahwa dalam Diskresi terdapat Batas Prosedural Murni yang meliputi:
a. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi
b. Adanya persetujuan dari masyarakat, jika diskresi akan merugikan
c. Didasarkan pertimbangan dan perbuatan hukum Pejabat Administrasi Pemerintahan berdasarkan fakta yang benar .

B. Pembentukan Produk Hukum melalui Asas Diskresi

     Untuk Membentuk suatu peraturan atau Produk Hukum melalui asas Diskresi harus dibentuk dengan cara sebagai berikut:
a. isi pengaturan dalam Keputusan Diskresi merupakan perbuatan hukum dari pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu:
  1. Asas kepastian hukum: Adalah asas dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara.
  2. Asas keseimbangan: penjatuhan hukuman yang wajar terhadap pegawai.
  3. Asas kesamaan
  4. Asas bertindak cermat
  5. Asas motivasi
  6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan
  7. Asas permainan yang layak: Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil
  8. Asas keadilan atau kewajaran
  9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar
  10. Asas meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal: Jika akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka pihak yang dirugikan harus diberi ganti rugi dan rehabilitasi.
  11. Asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap Pegawai Negeri Sipil diberi kebebasan dan hak untuk mengatur hidup pribadinya dengan batas Pancasila
  12. Asas kebijaksanaan: Pemerintah berhak untuk membuat kebijaksanaan demi kepentingan umum
  13. Asas pelaksanaan kepentingan umum:
b. isi pengaturan perbuatan hukum diskresi meliputi:
1) Kepastian hukum;
2) Keseimbangan;
3) Kecermatan/kehati-hatian;
4) Ketajaman dalam menentukan sasaran;
5) Kebijakan;
6) Gotong royong.
Menurut Prof. Muchsan, asas diskresi harus berlandaskan pada 2 (dua) hal:
1. Landasan Yuridis.
2. Kebijakan.
Kebijakan disini dibagi menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas.

     Berikut ini penulis memberikan contoh diskresi positif yang dilakukan oleh aparat pemerintah:
“Seseorang tidak ditilang oleh Polisi meski melanggar lampu merah serta batas kecepatan karena sedang dalam situasi darurat mengantarkan seorang ibu yang hendak melahirkan”
Extraordinary freies ermessen dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria berikut:
1. Adanya kondisi darurat yang nyata sangat akut dan tiba-tiba.
2. Ketiadaan pilihan lain kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum.
3. Kerugian yang ditimbulkan akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut.
4. Tindakan tersebut hanya untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi, dan pihak yang dirugikan juga dalam jumlah yang sangat sedikit.
5. Adanya kompensasi

     Kriteria di atas bersifat integral dan komulatif artinya merupakan syarat yang menyatu dan harus dipenuhi semuanya untuk dapat dilakukan tindakan yang melanggar hukum, sehingga apabila salah satu saja syarat di atas tidak dipenuhi, maka tindakan tersebut tetap merupakan tindakan yang murni perbuatan melanggar hukum beserta dengan segala akibat-akibatnya.


BAB III
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN

    Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu;
(a) adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri;
(b) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu;
(c) tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.

    Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan. Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya.

     Dalam rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.
   
     Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan; pejabat administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

B. SARAN
     Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan, bahwa banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (responsibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability).

    Oleh karena itu, penggunaan diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri.



Literatur
Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
Marbun, SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Rancangan Undang-Undang Administrasi Negara
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Diskresi
http://malutpost.com/berita/index.php?option=com_content&task=view&id=163&Itemid=38
http://studihukum.blogspot.com/2009/05/fungsi-peraturan-perundang-undangan.html
http://www.mail-archive.com/akhi@yahoogroups.com/msg00161.html

0 komentar: